Tuesday, June 29, 2010

mata kota



Sebuah kota yang melupakan identitas dirinya, melupakan sejarah dan asal mula dirinya. Manusia di dalamnya tak mengenal satu sama lain, semua berjalan tegap menghadap kedepan, namun ada pula yang tertunduk membawa beban di dalam pikiran. Saat itu adalah siang hari pukul 2.15 bersama hiruk pikuk pasar, satu persatu orang saling memandang penuh kesinisan padahal tidak ada kenal tidak punya masalah dan tidak tersedia tabiatnya kepada masalah.

Saat itu lorong penuh dengan pedagang emperan dan pembeli yang saling membutuhkan, transaksi terjadi secara hingar bingar yang seakan membentuk gaung di sekeliling lorong. Sorak sorai dan gelak tawa yang hiperbol -terkadang akibat dari pembenaran tunggal yang terjadi di dalamnya- dari pembentukan rasionalitas berpikir yang kaku.

Mata ini pun tidak terlalu jalang, hanya mata mereka yang jalang memandang mata ini,
padahal mata ini hanya mengikuti pandangan yang direfleksikan langsung dari otak dan naluri. Tidak tahu sebab mengapa mata mereka begitu jalang, liar, dan sinis memandang mata ini. Sensor di dalam otak ini mengatakan adalah sebuah akibat dari imperialisme budaya, yang tampak asing di mata mereka akan dicurigai kemudian ditiru dan dikembangbiakan sebanyak-banyaknya sebagai gaya hidup, oh, tapi terlalu jauh sensor di dalam otak ini berargumen. Masih perlu pendekatan lain, tetapi sebagai sebuah kota yang telah lupa akan jati dirinya, sensor akan membentuknya sebagai hipotesis.