Monday, January 10, 2011

penis emas



Baiklah, di kejauhan kepulan debu semakin tinggi, raungan sangkakala berbunyi angin membentuk taifun berwarna merah, para ksatria sudah datang dengan membawa sembilan ribu sembilan ratus empat puluh enam ribu tiga ratus delapan puluh satu tarantula bertanduk perunggu, entah bagaimana aku menghitungnya tetapi begitulah jika dilihat berdasarkan jumlah pori-pori kulit dan rajutan benang yang terbentuk di sekujur tubuh ini.

Ah, kulit ini seperti rajutan yang membentuk kain, jika aku perhatikan pola-pola garis di sekujur tubuh ini, dan garis di telapak tangan itu, ya, dia adalah hasil jahitan yang disulam dan digunakan sebagai penutup diseluruh rajutan kain ini, dan dari situ aku tidak hanya dapat menghitung pasukan tarantula bertanduk perunggu, tetapi juga dapat menghitung jumlah cahaya matahari, angin, dan tentu saja sentuhan kulitmu.

Tak perlu dipikirkan bagaimana cara menghitungnya, karena aku pun tidak tahu. Sekarang kita perhatikan saja pasukan tarantula bertanduk perunggu itu, dan mereka telah tiba. Berdiam diri pada jarak sepuluh meter di depan pintu gerbang, seratus limpa puluh juta km dari matahari, dan delapan ribu dua koma nol delapan km dari inti bumi, saat itu pula keluarlah sesosok pria dari kumpulan tarantula tanpa busana dan berpenis emas, ia menari, berguling, melompat, dan terkadang memainkan penis emasnya dengan menampar-namparnya, seluruh pasukan istana kaget serta kagum melihatnya namun mereka tetap siaga terhadap serangan.

Ternyata berdasarkan jumlah pori-pori dan garis kulit, aku dapat menebak secara gamblang bahwa ia adalah panglima perang dan kini ia sedang melakukan ritual untuk menyerang. Cukup tidak beretika, tak ada pesan sebelumnya bahwa gerombolan ini akan menyerang, kami pun tidak siap secara utuh. Tapi, baiklah, mereka telah kemari dan apa boleh buat, sembilan ribu sembilan ratus empat puluh enam ribu tiga ratus delapan puluh satu melawan empat ratus tujuh puluh enam dari jumlah keseluruhan dua ribu delapan ratus tiga puluh enam, sisanya sebanyak dua ribu tiga ratus enam puluh sedang terkena wabah depresi dan halusinasi setelah bermain bola bersama semut.

Sang panglima berpenis emas mengeluarkan sangkakala dari duburnya dan meniupkannya dengan lantang hingga terbentuklah kembali awan taifun namun kini berwarna kuning pekat dan dimulailah perang tanpa pesan itu. Di barisan depan para tarantula bertanduk perunggu menunjukan bokongnya dan mengeluarkan bulu-bulu yang dapat menyebabkan kantuk, akhirnya kami semua mengantuk dan kalah...

sekian