Saturday, January 18, 2014

naluri


Kenapa menulis nama naluri? Mulanya mengobservasi sejumlah stock foto lama, dan saya langsung tertarik dengan yang satu ini. Kenapa? Entahlah. Ah hidup saya kebanyakan entahlah, nampak berusaha untuk lari dari nafsu kritik. Foto ini seolah menjadi refleksi dari cara berpikir dan juga cara hidup (yang mungkin akan menentukan cara mati). Melihat foto seekor anjing mengejar unggas mati yang diikatkan pada rantai dan dijadikan mainan oleh tuannya. Si anjing dengan aktifnya mengejar dan mencabik-cabik bangkai unggas itu. Tujuannya untuk dimakan juga tidak, hanya saja dengan mencium wangi daging busuk dari kejauhan membawa si anjing girang tak karuan. Begitulah si naluri ini, sebuah respon alamiah yang tercipta secara turun-temurun dan berkembang sesuai perilaku lingkungannya. Liar nan eksotis. Sudah itu saja. Terima kasih.

Friday, January 17, 2014

insomnia


01.29 a.m Have A Cigar - Pink Floyd bermain di heningnya suasana pikiran seorang kawan bernama gulita. Sudah lebih dari sepekan hujan turun, dan lebih dari sepekan juga insomnia menyerang.  Seluruh alunan musik pun sampai terkapar habis digagahi oleh nafsu telinga ini.  Selalu ada keinginan untuk melakukan suatu hal.  Pikiran tidak berhenti untuk berpikir, badan terus bergerak, aktif hingga adzan subuh menjelang, setelah itu lelah tanpa daya, dan kembali lagi di siang hari, begitulah terus, berputar tanpa henti.  Batang-batang rokok terus dibakar dan asapnya dihunuskan ke dalam paru-paru tanpa adanya keraguan. Tapi, terkadang kekhawatiran selalu merebak, apalagi ketika kekhawatiran tersebut bersinergi dengan problema rutinitas sehari-hari, sehingga berdampak pada pikiran yang awut-awutan.  Ah begitulah insomnia, selalu mencipta kekhawatiran yang tidak diperlukan.  Semua kekhawatiran bersinergi secara sempurna dalam menciptakan kondisi dan situasi yang membuat segalanya menjadi negatif.  Seandainya tidak insomnia, mungkin akan lebih terkendali.

di ambang batas


21.44 p.m. Julie London - Cry Me A River bergaung selimuti pelosok kamar. Begitulah, tidak ada yang lebih menyakitkan dari mendengar sentuhan nada minor menggores daun telinga, hingga suaranya menjelma dalam bentuk kenangan di dalam pikiran. Khayal berbisik. Suaranya terdengar sendu berulang kali, menagih janjinya bertemu dengan nuansa yang bernama rindu. Sebuah angan terdalam di dalam luasnya bentangan samudera rindu. Terhadap apa dan siapa, entahlah. Nada ini, meluluhlantahkan segala bilik yang sudah terbangun di dalam angan, dan mengajaknya kembali kepada yang lampau. Suatu masa ketika cinta bergejolak di ambang batas.

tersembunyi


"Sembahyanglah, agar kau diberi kemudahan dalam segala hal". Begitulah ungkapan yang keluar darinya. Ungkapan dari suara yang memberikan rasa hangat dan sejuk, yang tersayang dan tercinta. Namun, jiwa yang gegabah dan penasaran ini menyangkalnya, walau tetap merindu kehangatan dan kesejukan lantunan suaranya. Ia sudah memahami pilihan yang diajukan sejak hampir satu dasawarsa ini, untuk menjadi sang gegabah. 

Ah, bukan maksud diri ini menyangkal ungkapannya, menyangkal doanya, menyangkal kehangatannya, menyangkal kesejukannya, menyangkal rindunya, menyangkal rahmatnya, menyangkal dan menyangkal semua semua darinya. Tapi yang gegabah hampir tidak mengerti apa gunanya si sembahyang itu, bukan tidak percaya, hanya tidak mengerti, dan tidak faham. Mereka bilang mendekatkan diri pada yang ilahi ....... Ah sudahlah, dari situpun layar pikiran mulai menampakan geliat ego.

Layaknya bocah yang meraba-raba lantai, mencari mainan yang diinginkan ketika listrik padam, kemudian berteriak dan menangis memanggil sang bunda agar menyalakan pijarnya. Bocah pun akhirnya tersenyum karena ada pijak yang dapat dilihat. Di dalam cahaya remang, mainan yang justru ada di depan matanya terlihat lebih jelas. Sang bunda mengelus kepalanya dan tersenyum, namun si bocah hanya peduli dengan mainannya. Sang bunda menjaga pijar untuk si bocah agar ia bisa bermain di dalam terang, si bocah tidak peduli, teruslah ia seru dengan mainannya, mainan lamanya. Mainan lama yang tersembunyi di balik gelap.

rindu



Sudah lebih dari sepekan ini hujan turun tak kenal waktu. Bangun tidur sampai menjelang tidur suhu selalu berada dikisaran 18-19 derajat Celsius. Cuaca yang sebagian umat rindukan, sejuk nan gulana. Bersama segudang playlist musik memainkan nuansa rindu di dalam pikiran. Secangkir kopi pun dilantunkan. Sebatang rokok, dibakar dan dihisap. Mencipta sebuah nuansa bernama rindu, kepada apa dan siapa pun terserahlah, karena dasarnya ia selalu menghidupi yang telah mati karena kekecewaan. Tanpa rindu, manusia hanya segumpal daging berjalan. Tanpa rindu, manusia tidak akan pernah belajar. Tanpa rindu, pastikan kalau kau memang masih hidup.

Thursday, January 16, 2014

lainhalnya


Tujuh bulan saudara-saudara, akhirnya saya kembali bersama transmisi pikiran yang melambai di dalam remangnya kamar ini. Kini kembali dengan tampilan baru dan pikiran baru, lebih stress, lebih akut, lebih bingung, dan dilebih-lebihkan. Mengapa? Karena sepanjang saya absen memposting tulisan di kamar ini, saya berusaha untuk menipu diri saya sendiri dengan memanipulasi diri di kamar yang sama bersama lembaran yang lain. Lembaran palsu, lembaran klise, atas nama eksistensi berlebih, menistakan kejujuran dalam diri. Ini lembaran yang asli, saya yang asli, saya yang lahir dan berkembang sebagai seorang Tuhan, hasil dari manipulasi kelamin, distraksi, dan etika publik yang terbatas. Kembali mencipta formulasi ayat untuk dikonsumsi, bukan dinikmati, dipeluk, apalagi disetubuhi. Beruntungnya saya bukan agama, apalagi agama impor seperti enam agama lainnya, akan di ekspor pun tidak, faham juga bukan, lantas apa? Ini adalah sebuah ide, sebuah konsep bernama "Lainhalnya".